Sebagai wanita yang tumbuh ditengah keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku terbiasa nasib dan kerja keras menolong orangtuaku yang nelayan. Kampung kita di pulau. Edited agak jauh dari kota dan semacam terisolir membikin tatanan kenasiban bermasyarakat disana tidak lebih terbuka, aku pun tumbuh menjadi gadis tidak lebih pergaulan.
Sejak berumur 11 tahun, ayah dan ibuku bercerai. Bunda kawin lagi dengan lelaki idamannya membawa Fery, adikku. Mereka pun tinggal di kota, dirumah barunya. Sejak itu pula aku nasib bersama ayahku dirumah kita dikampung pesisir itu, sebab Anto dan Santi, kedua kakakku telah merantau kepulau seberang.
Kenasibanku bersama ayah berlangsung wajar. Untuk makan sehari-hari, ayah tetap sanggup mencari nafkah sebagai nelayan, sedangkan aku turut menolong bibi berjualan dipasar. Hingga aku menginjak usia 17 tahun, dan tumbuh menjadi gadis yang kata masyarakat kampungku aku lumayan cantik. Diusia itu aku disunting Mas Hamdi, anak lelaki bibiku.
“Kamu telah dewasa nak, seusai menikah kelak jadilah istri yang taat terhadap suami. Ayah harap kalian tidak semacam ibumu yang tergiur harta kekayaan lelaki lain jadi kalian menderita,” kata ayah seusai menerima pinangan bibi, orang tua Hamdi.
Pesta penikahan yang lumayan mewah untuk ukuran kita tidak membikin aku bergembira sebab pikiranku tertuju iba pada ayahku yang nantinya bakal sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku pun sangat mencintai Mas Hamdi, suamiku.
Dimalam pertama kami, aku sangatlah tersanjung bersama Mas Hamdi. Malam itulah kuserahkan semua yang kumiliki padanya, sangat berkesan bagiku.77.104.158.154
“Aku sayang kalian Mar..” Mas Hamdi mengecup keningku saat kita dipembaringan, usai pesta kawin kita malam itu.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan kita pun berpelukan erat.
Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus turun ke pipi, hidung, dan selanjutnya Mas Hamdi mengecup bibirku dan mengulumnya dalam. Tangannya mulai melucuti kebaya putih yang kukenakan, menyibak bra yang kupakai, lalu menyentuh puting susuku, meremas dan mencubit kecil susuku.
“Aouhh Mass, geli Mas,” terus terang baru sekali itu aku dijamah lelaki, perasaanku bukan main takut bercampur enak.
Mas Hamdi tidak peduli, bagai singa lapar ia kemudian melucuti seluruh kain yang melilit tubuh bawahku dan juga melepaskan seluruh pakaiannya.
“Tenang ya sayang, sakit sedikit kok.. kelak juga enak,” kata itu keluar dari bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku agak menjerit saat benda tumpul milik Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
Malam pertama itu Mas Hamdi menyetubuhiku dengan beringas, dan tidak memberiku peluang untuk mencapai klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir mungkin itulah gaya seks pria pesisir yang terbiasa nasib keras sebagai nelayan.
Meski aku tersanjung nasib bersama suamiku, tetapi rasa BHakti pada ayah tidak sempat kusingkirkan. Meski kita nasib beda rumah, dengan jarak 200 meter. Tetapi tidak jarangkali kubawakan ayah makanan dan minuman, biasanya tiga hari sekali. Apalagi Mas Hamdi pun menyuruhku untuk tetap memperhatikan ayahku yang mulai tua, dan jarang melaut lagi. Tapi selagi itu segela sesuatunya tetap berlangsung lancar.

Hingga sebuahsiang, empat bulan seusai aku menikah, aku membawakan makanan dan minuman kerumah ayah yang letaknya agak terpisah dari rumah lainnya dikampung kami. Saat itu aku telah hamil dua bulan.
“Ini yah, saya bawakan sayur dan ikan. Ayah nggak usah masak lagi untuk kelak malam tinggal dihangatkan saja,” kataku setiba dirumah ayah.
“Duh.. makasih ya sayang. Kalian ini sangatlah anak berBHakti,” kata ayah seraya menghampiri dan mengecup keningku.
Kupikir kecupan itu pertanda sayang semacam yang selagi ini dilakukan padaku, kubiarkan saja itu dan kemudian aku ke dapur untuk memindahkan makanan dari rantang yang kubawa kepiring didapur. Ayah rupanya membuntutiku dan ikut kedapur, lalu disaat tanganku sibuk menyusun piring dimeja makan, ayah memelukku dari belakang.
“Kamu telah hamil ya sayang,” tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya bakal kasih ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, sebab kupikir ayah sangat menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu wajib tidak jarang diusap dan dipijit pelan supaya bayinya nggak turun,” ayah mengatakan itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan untuk ayah.
“Si Hamdi tidak jarang mijitin kalian nggak sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang wajib mijitin dia?” kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
Siang itu, semacam biasanya sebelum pulang aku sempatkan untuk ngobrol bersama ayahku. Tidak hanya menanyakan keperluan apa saja yang wajib kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah mengenai sikap mertuaku, bunda Mas Hamdi yang hingga saat itu belum dapat kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru menuturkan persoalan kehamilanku, persoalan perawatan janin diperutku, tergolong persoalan wajib rajin diusap dan dipijat perutku.
“Nah.. suamimu kan kelak malam melaut, kalian datang kemari saja supaya ayah dapat pijitin ya,” begitu pinta ayah sebelum aku pulang.
Aku pun mengiyakan saja, soalnya biasanya Mas Hamdi pulangnya agak siang seusai melaut. Lagipula, dirumah mertua aku tidak jarang bimbang mau melakukan apa, maklum mertuaku belum sreg benar kepadaku kelihatannya.
Malam itu seusai Mas Hamdi pamit melaut, aku langsung kerumah ayah. Pasti saja aku pamit ke mertua untuk menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang, ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok tembakau lintingan diruang tamu.
“Malam yah.. kok ngelamun sih?” sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda dulu,” ayahku tetap asyik dengan rokok lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil perjalanan nasibnya yang sebetulnya telah tidak jarang diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak nih mijitin saya? katanya sayang sama cucu yang tetap diperut ini?” aku merajuk menghentikan ceracau ayahku mengenai nasibnya.
“Iya..iya, tapi kini kalian mandi dulu sana,” perintah ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar ayahku. Saat itu seluruh pakaianku kutanggalkan dan hanya memakai kain sarung milik ayah untuk menutup tubuhku. Biasanya dikampung ini, melilit tubuh dengan sarung telah jadi tradisi tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya sayang, ayah ambilkan minyak kepala dulu,” ayahku memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun menantikannya sambil berbaring diranjang. Tidak lama kemudian ayah datang membawa sebotol kecil minyak kelapa.
“Terbukti susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya,” ayahku bicara sendiri ketika duduk ditepi ranjang.
“Iya, untung saya tetap punya ayah yang perhatian ya yah,” kataku.
Tangan ayah segera menyibak kain yang kukenakan pada tahap atas, jadi susuku tanpa pembungkus leluasa terkesan. Tetapi aku sama sekali tidak risih sebab sejak kecil hingga gadis pun aku tidak jarang dilihat mandi telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya memijit tahap perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, kalian tidak jarang merasa sakit ya?” ayah bertanya sambil tangannya terus memijiti perutku.
“He-eh yah.., tidak jarang capek juga kakinya,” jawabku menikmati pijitan ayah.
“Ya telah, kelak ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah mengatakan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai persoalan harga ikan yang sedang turun, hingga persoalan masa lalu ayah dengan ibuku.
“Uhh.. sakit yah,” aku agak berteriak saat merasakan sakit pada tahap perut saat tangan ayah memijit.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi tangannya tetap berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mar? Wah.. ini dapat bahaya, kalau dibiarkan kelak anakmu dapat cacat lho kalau lahir,” kata ayah dengan raut wajah serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mar nggak mau punya anak cacat,” aku takut sekali waktu itu, takut menanggung malu apabila kelak melahirkan anak yang tidak normal.
Ayah tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia kelihatan sedang berpikir, tapi kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah wajib siapin obatnya dulu ya,” ayah kemudian meninggalkanku sendirian dalam kamar. Tidak lama ayah datang lagi dan membawa baskom plastik berisi air dan berbagai kembang kenanga.
Ayah kemudian membahas padaku bahwa ia bakal mengobati kehamilanku dengan pengobatan tradisional.
“Tapi ayah wajib masukan air kembang ini kedalam rahimmu sayang, kalian dapat tahan sakit sedikit kan?” ayah mengatakan itu dengan sangat meyakinkan.
Semula aku ragu, apalagi ayah bilang kalau dirinya bakal memasukan air kembang itu dengan tutorial menyemburkannya divaginaku. Tetapi keraguanku pupus seusai ayah berkali-kali meyakinkanku. Hingga kini pun aku tidak tahu pasti apa kata ayahku itu benar alias hanya sekedar akal bulusnya saja. Tetapi yang jelas, saat itu aku menurut saja ketika ayah menyingkap sarung yang kukenakan pada tahap bawah dan meminta aku mengangkangkan kaki dalam posisi terlipat, semacam posisi wanita yang hendak
bersenggama dengan lelaki. Ayah sendiri naik keranjang dengan posisi bersimpuh dihadapan kangkangan kakiku. Terus terang aku malu dan kikuk menyadari alangkah vaginaku terpampang jelas tanpa penghalang didepan mata ayahku.
“Kamu tenang saja ya sayang, tidak lama kok,” katanya, lalu meneguk air kembang dalam baskom dan menampung dalam mulutnya yeng menggelembung.
Aku sangat penasaran apa yang bakal terjadi selanjutnya, apalagi saat kepala ayah mulai merunduk melalui dua pahaku, mendekati vaginaku yang tidak terbungkus CD. Berbagai detik kemudian kurasakan dingin mejalar dipermukaan kemaluanku, rupanya ayah telah menyemburkan air dalam mulutnya cocok kevaginaku. Yang kurasakan tidak hanya dinginnya air kembang, juga perasaan geli pada tahap vitalku. Ayah mengulangi lagi meneguk air itu dan menyemburkan ke vaginaku, berbagai kali. Faktor itu memunculkan perasaan tidak menentu padaku, geli, dingin bercampur enak.
“Gimana Mar, telah agak membaik rasa sakitnya?” ayah bertanya padaku.
Tetapi belum sempat kujawab tangan kanan ayah tiba-tiba membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah wajib pastikan air kembang itu masuk hingga kerahimmu,” katanya, sambil tangannya terus mengusapi bibir vaginaku.
Usapan tangan ayah divaginaku yang telah basah terkena air kembang membikin sensasi tersendiri kurasakan, aku pun tidak dapat mengatakan-kata lagi sebab mendadak lemas seluruh sendi tubuhku.
“Uhh yahh.. telah yah.., Mar nggak dapat tahan geliinya,” bibirku meminta ayah menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua tanganku tidak menahan tangan ayah yang aktif, tetapi tanganku justru meremasi sprei ranjang kanan dan kiri.
“Disini ya sayang yang geli itu,” ayah bertanya sambil jempol kanannya menekan klitorisku dan menguyak-nguyak benda sensitifku itu memutar kecil.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali disituhh,” nafasku mulai tersengal menahan geli yang nikmat dibawah usapan jempol ayah pada tahap klitorisku.
Rasa gatal yang sangat kurasakan dipucuk-pucuk kedua susuku yang putingnya telah mengembang pertanda birahi yang kualami.
Ayah meneruskan aktifitasnya mengusapi klitorisku dengan jempolnya, usapan itu perlahan melemah dengan posisi jempol beranjak menjauh dari klitorisku. Saat itu aku telah sangat terangsang oleh ayah, pinggulku saat ini yang naik mengejar jempol ayah supaya tidak meninggalkan klitorisku. Aku menggelepar dengan napas telah sangat tidak beraturan lagi, pikiranku telah melayang dan tidak ingat lagi bahwa yang merangsangku merupakan ayahku sendiri. Tapi disaat aku telah sangat terangsang semacam itu, ayah justru menghentikan aktifitasnya di klitorisku. Pinggulku yang tadinya sedikit membawa mencari jempol ayah langsung terjerembab lagi, aku terpejam menahan gejolak yang berkecamuk ditubuhku.
“Auhh yahh, kenapa?” tanyaku agak sedih, tapi mendadak malu saat ayah menatapku, malu sebab aku semacam meminta faktor yang lebih dari ayahku.
“Mar.. semacamnya air kembang itu tidak masuk benar dalam rahimmu. Ayah ulangi semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. telah saja ya, Mar.. nggak tahan gelinya,” pintaku, tapi anehnya tubuhku tetap berbaring seolah tidak ingin menjauhi ayah.
Ayah tidak menjawab permintaanku dan kembali meneguk air kembang lalu ditampung dimulutnya. Aku memejamkan mata saat kepala ayah kembali tunduk mendekat ke pangkal pahaku. Aku kembali merasakan dingin di permukaan vaginaku saat ayah mulai menyemburkan air kembang, tapi hari ini lain, seusai semburan itu aku merasa ada benda kenyal nan lembut menyapu permukaan
vaginaku. Kupikir itu jemari tangan ayah, tetapi tidak, itu bukan tangan, benda bertekstur lembut, hangat, dan kenyal itu merupakan lidah ayah. Ya, ayah mengusapi cocoknya menjilati permukaan vaginaku dengan lidahnya.
“Ihh.. mmpphh yaahh, aauhh hhsstt,” aku tidak kuasa menahan rasa nikmat dijilati ayah, terus terang sejak kawin dengan Mas Hamdi belum sempat aku diperlakukan semacam itu. Mas Hamdi rutin main langsung tembak, tanpa rangsangan lebih dulu jadi selagi ini aku sendiri belum sempat merasakan apa yang disebut kenikmatan orgasme. Jilatan ayah mulai meningkat, saat ini lidahnya justru tidak jarang menelusup belahan bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan bening kental dari vaginaku diseruput ayah semacam menyeruput kopi hangat dari gelasnya.
“Ngghhsstt.. yah.. Mar nggak dapat tahnn.. ouhh..” aku mulai menggelinjang tidak menentu rasanya.
Tetapi disaat aku mulai melambung tinggi, ayah menghentikan lagi aktifitasnya di vaginaku, membikin aku menggelepar menahan birahiku sendiri.
“Mar.. ayah agak susah masukan air kembang itu kerahimmu. Tahan sebentar lagi ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi, geli sekali yah,” aku merasa terus lemas sebab birahiku dipermainkan semacam itu.
Saat itu aku berhayal seandainya Mas Hamdi ada pasti dialah yang bakal memuaskanku dengan penisnya, sebab aku merasa telah siap betul dan ingin sekali untuk disetubuhi lelaki. Tapi pikiran itu kutepis, sebab bukankah ayah yang sedang mengobati kandunganku? Aku tidak berpikir bahwa ayah pun terangsang saat itu.
Tapi tidak lama kemudian kurasakan nafas ayah kembali mendekati vaginaku, seusai meneguk air kembang yang hampir habis di baskom. Ayah tidak lagi menyemburkan air itu dengan berjarak dari vaginaku, tetapi bibir ayah langsung menempel dibibir vaginaku dan ia menyemburkan air itu.
Kurasakan ajaran air itu masuk hingga ke dinding rahimku, rasanya sama semacam saat Mas Hamdi menumpahkan spermanya ketika kita bersenggama. Seusai itu bibir ayah melumati bibir vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan vaginaku membikin nikmat yang sangat pada tahap sensitif itu, aku sangatlah kepayang dibangun ayah. Saat ini jemari tangan ayah turut menyibaki vaginaku, membukanya lebar dan lidahnya menyapu klitorisku dari atas kebawah dan sebaliknya dari bawah keatas.
“Ouhh.. yah.. suddhh yaahh, Mar mau kencingg rasanya ah..” seluruh sendiku terasa ngilu dan mengembang bersama kedutan kecil didinding vaginaku, aku hampir hingga puncak orgasmeku.
“Iya sayang, telah berakhir kok,” lagi-lagi ayah menghentikan aktifitasnya, tapi saat kubuka mata nyatanya hari ini tubuh ayah telah berada diatas tubuhku dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh.. ahh,” belum habis kagetku sebab ayah menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke vaginaku.
Nyatanya ayah telah melepaskan celananya dan penisnya yang tegang dimasukan ke vaginaku. Aku hendak bentrok sebab faktor itu tabu dikampungku dan dimanapun, bukankah seorang ayah tidak boleh melakukan itu pada anak perempuannya. Perang bathin kualami saat itu, aku ingin mendorong tubuh kekar ayahku tetapi aku telah sangat lemas saat itu. Sementara dorongan birahiku ingin segera terpuaskan dengan senggama bersama lelaki.
“Oohhgg, Mar.. angap saja ayah Hamdi Mar.. ouhh ayahh nggak tahhann,” ayah tetap menindihku dan saat ini pinggulnya mulai naik turun diatas tubuhku membikin penisnya leluasa keluar masuk diliang nikmatku yang telah licin dan becek oleh cairanku sendiri.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tidak kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan mata terpejam aku malah ikut menyambut goyangan ayah dengan goyangan pinggulku. Merasa aku tidak melawan, ayah pun terus liar menyetubuhiku, anak kandungnya. Saat ini sambil menggenjotku, bibir ayah menjelar menghisapi puting susuku, jadi senggama kita sempurna dan kenikmatan yang kurasakan pun terus tidak tertara bila dibanding senggamaku bersama suami.
Sekalipun usia ayah telah kepala enam, tetapi kondisi fisiknya tetap kuat dan kurasakan penisnya pun tetap normal dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari punya Mas Hamdi.
“Yahh.. Marr mauu kencinghh yahh uuh..sstt,”
Sepuluh menit berlalu dalam senggama, kurasakan kenikmatan mulai mengumpul di pangkal pahaku, bongkahan pantatku, ujung-ujung jari kakiku, dan juga di liang nikmatku. Kedutan terus terasa didinding vaginaku, dan akhirnya kurasakan kejang pada tahap pinggul hingga kakiku, kakiku kemudian kugunakan untuk menjepit pinggul ayah dan menekannya supaya lebih dalam penisnya bersarang di vaginaku. Tanganku memeluk tubuh berkeringat ayah, sementara kepalaku terangkat dengan bibir menyedok kulit dada ayah. Dalam keadaanku yang puncak itu, ayah tetap menggejot penisnya berbagai kali sebelum akhirnya
ayaHPun mengejang dan mengerang diatas tubuhku.
“Ahhgg Mar.. ngghh,” ayah lalu lunglai dan berbaring disampingku yang juga lemas tidak bertenaga. Tulangku seakan dicopoti saat itu, tetapi kuakui itulah kali pertama aku kepuncak nikmatnya senggama.
Malam itu aku tidur bersama ayahku dirumahnya, dan paginya kita semacam melupakan kejadian itu. Akupun pulang kerumah mertua pagi harinya, dan bersikap semacam biasa saat Mas Hamdi pulang melaut.
Kejadian pertama bersama ayah, membikin aku agak malu untuk datang kerumah ayah lagi. Telah dua minggu ini aku tidak menjenguk alias mendampingi makanan untuk ayah. Entahlah, meski sebetulnya aku tidak keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah, tetapi aku malu kalau disangka ayah ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut semacam biasa ia meminta jatah dilayani keperluan biologisnya. Sebagai istri kulayani suamiku semaksimal mungkin. Tapi semacam biasa juga, Mas Hamdi hanya memikirkan kepuasannya saja, dan telah mengejang menyemprotkan air maninya sebelum aku merasa terangsang, apalagi orgasme.
“Mhh, aku sayang kalian Mar..” Mas Hamdi rutin mengatakan itu sambil mengecup keningku setiap kali usai menikmati klimaks diatas tubuhku, lalu ia mengenakan kembali pakaiannya dan meninggalkanku sendiri dikamar, ia pun melaut bersama kawan-kawannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang kuucapkan melepas berangkat suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa mengenakan kembali pakaianku, rasa sedih terhadap suamiku tumpah lewat air bening yang meluncur ditepian mataku. Aku merasa tersiksa dua minggu ini setiap kali berhubungan intim dengan suamiku, tersiksa sebab tidak memperoleh nikmat yang maksimal semacam yang kudapat dari ayahku. Seusai suamiku menhilang dibalik pintu, aku bangkit dan mengunci kembali pintu kamar. Kembali berbaring diranjang tanpa busana, aku menghayalkan kenangan nikmat bersama ayah. Tidak terasa tanganku mulai meremasi payudara sendiri, sambil membayangkan ada lelaki yang sedang mencumbuiku, aku pun menjelajahi tahap tubuh sensitifku sendiri. Malam itu aku mencapai orgasmeku dengan masturbasi sambil menghayalkan ayahku, lalu tertidur pulas.
Esoknya, pagi-pagi benar sebelum Mas Hamdi pulang melaut, aku menyiapkan makanan untuk kubawa kerumah ayah. Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah pagi itu.
“Eh kalian Mar.. ayah kira siapa,” kata ayah menyambut ketukan pintuku.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,” aku menjawab tanpa sanggup menatap mata ayah, aku malu dan jadi canggung pada ayahku sendiri.
Ayah kemudian menyuruhku masuk, dan semacam biasanya aku langsung kedapur untuk memindahkan makanan dirantang yang kubawa kepiring di dapur rumah ayahku.
“Gimana sayang, telah nggak sakit lagi perutmu?” suara ayah menyapaku, dan aku agak terkejut ketika ayah tiba-tiba telah mendekap tubuhku dari belakang sambil tangannya mengusapi perutku yang nampak sedikit membuncit dengan usia kehamilan 3 bulan.
“Eh ayah.. Mar hingga kaget. Kadang-kadang tetap tuh yah, tapi agak membaik kok seusai dipijit ayah waktu itu,” aku bimbang wajib menjawab apa saat itu.
“Gimana kalau ayah pijit lagi? biar nggak sakit-sakitan perutmu itu,” nafas ayah cocok menghembusi tengkukku, membikin aku menahan geli dan merinding.
Sebelum aku menjawab, tangan ayah kurasakan membelai bongkahan pantatku dan mulai menyingkap naik tahap bawah daster yang kupakai pagi itu.
“Enghh ayah.. jangan lagi ah,” aku berusaha menepis tangan ayah dan kembali meneruskan kegiatanku merapikan piring di meja dapur ayah. Tapi tangan ayah semacam tidak mau pergi, dari belakang itu ayah malah memasukan tangannya kebalik dasterku dan mengusapi bongkahan pantatku, sesekali meremasinya.
“Ya telah, kalau nggak mau dipijitin dikamar, ayah pijitin disini saja ya. Kalian kan dapat sambil rapikan piring itu,” ayah terus berani menyusupkan tangannya kebalik CD ku, jadi saat ini tangan kasarnya mengusapi pantatku tanpa penghalang. Saat tangan ayah langusng menyentuh kulit pantatku dengan cara langsung, aku merasakan desiran aneh yang kemudian memacu libidoku.
Kucoba menahan desiran itu dan tetap merapikan makanan diatas meja dapur, tetapi aku tidak lagi menepis aktifitas ayah, aku membiarkan ayah berbuat semaunya.
“Asshtt yah.. janganhh geli yah,” aku menggelinjang saat bibir ayah mengecup tengkukku, tapi aku tidak sanggup menghindarinya.
“Kamu merunduk diatas meja ya sayang, tenang saja.. supaya perutmu cepat sembuh, ayah pijitin sambil berdiri ya,” ayah menekan bahuku dari belakang jadi posisi tubuhku merunduk dengan kedua tangan menopang dibibir meja.
Penasaran juga apa yang bakal ayah lakukan, aku pun tidak dapat menjawab tidak hanya mengikuti perintah ayah itu. Saat ini pekerjaan merapikan piring telah tidak ada lagi, yang ada aku merunduk pasrah di meja itu, menantikan apa yang bakal ayah lakukan selanjutnya. END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.