Berita Info Togel Online, Cerita Panas Dewasa Terbaru

Kumpulan agen judi togel online terpercaya

Vipaduq

Breaking

Togel Online Togel Online

Selasa, 19 November 2019

Tante Girang Bernama Lia Kusetubuhi Sampai Hamil

Tante Girang Bernama Lia Kusetubuhi Hingga Hamil

Namaku Didit. Aku lahir di satu keluarga pegawai perkebunan yang mempunyai lima orang anak yang semua laki-laki. Yang tertua merupakan aku. Serta ini menjadi akar persoalan pada kenasiban remajaku. Jarang berteman dengan perempuan tidak hanya ibuku, akupun jadi canggung kalau berdekatan dengan perempuan. 77.104.158.154


Maklumlah di sekolahku umumnya juga cowok semua, jarang perempuan. Tidak hanya itu aku merasa rendahdiri dengan penampilan diriku di hadapan perempuan. Aku tinggi kurus serta hitam, jauh dari ciri-ciri pemuda ganteng. Wajahku jelek dengan tulang rahang bersegi. Sebab tampangku yang mirip keling, kawan-kawanku terbuktigil aku Pele, sebab aku suka main sepakbola.

Tapi sekalipun aku jelek serta hitam, otakku lumayan encer. Pelajaran ilmu pasti serta fisika tidak terlalu susah bagiku. Serta juga aku jagoan di lapangan sepakbola. Posisiku merupakan kiri luar.

 Apabila bola telah tiba di kakiku penonton bakal bersorak-sorai sebab itu berarti bola telah sukar direbut serta tidak bakal ada yang berani nekad main keras sebab kalau hingga beradu tulang kering, biasanya merekalah yang jatuh meringkuk kesakitan sementara aku tidak merasa apa-apa. 

Serta kalau telah demikian lawan bakal luar biasa kekuatan ke kurang lebih kotak penalti membikin pertahanan berlapis, supaya gawang mereka jangan hingga bobol oleh tembakanku alias umpan yang kusodorkan ke 77.104.158.154. Hanya itulah yang bisa kubanggakan, tidak ada yang lain.

Tampang jelek muka bersegi, tinggi kurus serta hitam ini sangat mengganggu aku, sebab aku sebetulnya ingin sekali punya pacar. Bukan pacar sembarang pacar, tetapi pacar yang cantik serta seksi, yang mau diremas-remas, dicipoki serta dipeluk-peluk, bahkan kalau bisa lebih jauh lagi dari itu. 

Serta ini persoalannya. Kotaku itu merupakan kota yang tetap kolot, apalagi di lingkungan tempat aku tinggal. Pergaulan antara laki-laki serta perempuan yang sedikit mencolok menjadi sorotan tajam masyarakat. Serta jadi bahan gunjingan ibu-ibu antar tetangga.

Oh ya mungkin ada yang bertanya mengapa kok soal punya pacar alias tidak punya pacar saja begitu penting. Ya itulah. Rahasianya aku ini punya nafsu syahwat besar sekali. Entahlah, siapa tahu aku ini seorang *. Menonton ayam alias ** main saja, aku bisa tegang. 

Setiap pagi penisku keras semacam kayu jadi wajib dikocok hingga muncrat dulu baru bertidak lebih kerasnya. Serta kalau muncrat bukan main tidak sedikitnya yang keluar. Mungkin sebab ukuranku yang lebih panjang dari ukuran rata-rata. Serta saban menonton perempuan cantik syahwatku naik ke kepala. Apalagi kalau kelihatan paha. 

Aku bisa tidak sanggup berpikir apa-apa lagi kalau gadis serta perempuan cantik itu lewat di depanku. Senjataku langsung tegang kalau menonton dirinya berlangsung berlenggak-lenggok dengan pinggul yang melampai ke kiri serta ke kanan. Ngaceng abis kayak siap berlaga.

Dia? Ya dia. Maksudku Lala serta ….. Tante Lia.

Lala merupakan murid salahsatu SMU di kotaku. Kecantikannya jadi buah bibir para cowok lanang seantero kota. Dirinya tinggal dalam jarak berbagai rumah dari rumahku, jadi tetanggaku juga. Aku sebetulnya ingin sekali seandainya Lala jadi pacarku, tapi mana bisa. Cowok-cowok keren tergolong anak-anak penggede pada ngantri ngapelin dia, mencoba menjadikannya pacar. Hampir semua bawa mobil, kadang mobil dinas bapaknya, mana sanggup aku bersaing dengan mereka.


Terkadang kami berpapasan kalau ada kegiatan RK alias kendurian, tetapi aku tidak berani menyapa, dirinya juga tampaknya tidak berminat hendak berteguran dengan aku yang muka saja bersegi serta hitam pula. Ya pantaslah, sebab cantik serta dikejar-kejar tidak sedikit pemuda, bahkan orang berusia juga, dirinya jadi arogan, mentang-mentang. 

Alias siapa tahu itu hanya alasanku saja. Yang benar merupakan, aku terbukti takut sama perempuan cantik. Berdekatan dengan mereka aku gugup, mulutku terkatup gagu serta nafasku sesak. Itu Lala.
Dan ada satu lagi perempuan yang juga membikin aku gelisah apabila berada di dekatnya. Tante Lia.

Tante Lia tinggal persis di sebelah rumahku. Suaminya pemasok yang mendatangkan berbagai bahan kebutuhan perkebunan kelapa sawit. Sebab itu dirinya tidak jarang bepergian. Kadang ke Jakarta, Medan serta ke Singapura. 

Belum lama mereka menjadi tetangga kami. Entahlah orang dari daerah mana suaminya ini. Tapi aku tahu Tante Lia dari Bandung, serta dirinya ini wuahh mak … sungguh-sungguh audzubile cantiknya.

Wajah cakep. Putih. Bodinya juga keren, dengan panggul berisi, paha kokoh, meqi tebal serta pinggang ramping. Payudaranya juga indah kenceng serasi dengan bentuk badannya. Sempat di agenda pentas terbuka di kampungku kala tujuhbelas agustusan dirinya menyumbangkan peragaan tari jaipongan. Wah aku betul-betul terpesona.

Tante Lia ini merupakan kawan ibuku. Meski umur mereka berselisih siapa tahu 15 tahun, tapi mereka itu tepat satu sama lain. Kalau bergunjing bisa berjam-jam, maklum saja dirinya tidak punya anak serta semacam ibuku tidak bekerja, hanya bunda rumahtangga saja. 

Terkadang ibuku datang ke rumahnya, terkadang dirinya datang ke rumahku. Satu kebiasaan yang kulihat pada Tante Lia ini, dirinya suka duduk di sofa dengan menaikkan sebelah alias kedua kakinya di lengan sofa. 

Satu kali aku baru pulang dari latihan sepakbola, saat membuka pintu kudapati Tante Lia lagi bergunjing dengan ibuku. Rupanya dirinya tidak mengira aku bakal masuk, serta cepat-cepat menurunkan sebelah kakinya dari sandaran lengan sofa, tapi aku telah sempat menonton lubang kangkangan kedua pahanya yang putih padat serta celana dalam merah jambu yang membalut ketat meqinya yang keren cembung. Aku mereguk ludah, kontolku kontak berdiri. 

Tanpa bicara apapun aku terus ke belakang. Serta sejak itu pemandangan sekilas itu rutin menjadi obsesiku. Setiap menonton Tante Lia, aku ingat kangkangan paha serta meqi tebal dalam pagutan ketat celana dalamnya.

Oh ya tentang Tante Lia yang tidak punya anak. Saya mendengar ini terkadang jadi keluh-kesahnya pada ibuku. Aku tidak tahu benar mengapa dirinya serta suaminya tidak punya anak, serta entah apa yang dikatakan ibuku tentang faktor itu untuk menghibur dia.

Apalagi? Oh ya, ini yang terpenting yang menjadi asal-muasal tante. Kalau bukan sebab ini siapa tahu takkan ada tante ini hehehhehe …. Tante Lia ini, dirinya takut sekali sama setan, tapi anehnya suka nonton film setan di televisi hehehe …. 

Terkadang dirinya nonton di rumah kami kalau suaminya lagi ke kota lain untuk urusan bisnesnya. Pulangnya dirinya takut, lalu ibuku menyuruh aku mengantarnya hingga ke pintu rumahnya.
Kucumbu Dengan Penuh Nafsu Dan Tantangan hanya di 77.104.158.154

Pada sebuahhari tetangga sebelah kanan rumah Tante Lia serta suaminya (kami di sebelah kiri) meninggal. Perempuan tua ini sempat bertengkar dengan Tante Lia sebab urusan sepele. Kalau tidak salah sebab soal ayam masuk rumah. Hingga si perempuan meninggal sebab penyakit bengek, mereka tidak berteguran.

Tetangga itu telah tiga hari dikubur tidak jauh di belakang rumahnya, sewaktu suami Tante lia, Om Hendra pergi ke Singapur untuk urusan bisnes pasokannya. Sepanjang hari seusai suaminya pergi Tante Lia uring-uringan sama ibuku di rumahku. Dirinya takut sekali sebab sewaktu tetap nasib tetangga itu berbicara terhadap tidak sedikit orang bahwa hingga di kuburpun dirinya tidak bakal sempat berbaikan dengan Tante Lia .

Lanjutannya ketika aku pulang dari latihan sepakbola, bunda terbuktigilku. Katanya Tante Lia takut tidur sendirian di rumahnya sebab suaminya lagi pergi. Serta pembantunya telah dua minggu dirinya berhentikan sebab kedapatan mencuri. 

Sebab itu dirinya menyuruhku tidur di ruang tamu di sofa Tante Lia. Mula-mula aku keberatan serta bertanya mengapa bukan salah seorang dari adik-adikku. Kukatakan aku mesti sekolah besok pagi. 

Yang sebetulnya semacam telah saya katakan sebelumnya, saya rutin gugup serta tidak tenteram kalau berdekatan dengan Tante Lia (tapi pasti saja ini tidak kukatakan pada ibuku). Kata ibuku adik-adikku yang tetap kecil tidak bakal menolong membikin Tante Lia tenteram, lagi pula adik-adikku itupun takut jangan-jangan didatangi arwah tetangga yang telah mati itu hehehehe.

Lalu malamnya aku pergi ke rumah Tante Lia lewat pintu belakang. Tante Liatampaknya gembira aku datang. Dirinya mengenakan daster tipis yang membalut ketat badannya yang sintal padat.

“Mari makan malam Dit”, ajaknya membuka tudung makanan yang telah terhidang di meja.

“Saya telah makan, Tante,” kataku, tapi Tante lia  memaksa jadi akupun makan juga.

“Didit, kalian kok pendiam sekali? Berlainan betul dengan adik-adik serta ibumu”, kata Tante Lia selama dirinya menyendok nasi ke piring.

Aku susah mencari jawaban sebab sebetulnya aku tidak pendiam. Aku tidak tidak sedikit bicara hanya kalau dekat Tante Lia saja, alias Lala alias perempuan cantik lainnya. Sebab gugup.

“Tapi Tante suka orang pendiam”, sambungnya.

Kami makan tanpa tidak sedikit bicara, habis itu kami nonton televisi agenda panggung musik pop. Kulihat Tante Lia  berlaku hati-hati supaya jangan hingga dengan cara tidak sadar menaikkan kakinya ke sofa alias ke lengan sofa. Berakhir agenda musik kami lanjutkan mengikuti warta kabar lalu filem yang sama sekali tidak luar biasa.

Sebab itu Tante Lia mematikan televisi serta mengundang aku berbincang menanyakan sekolahku, kegiatanku sehari-hari serta apakah aku telah punya pacar alias belum. Aku menjawab singkat-singkat saja semacam orang blo’on. 

Kelihatannya dirinya terbukti ingin mengundang aku terus bercakap-cakap sebab takut pergi tidur sendirian ke kamarnya. Tetapi sebab menonton aku menguap, Tante Lia pergi ke kamar serta kembali membawa bantal, selimut serta sarung. 

Di rumah aku biasanya terbukti tidur hanya menggunakan sarung sebab penisku tidak jarang tidak mau kompromi. Tertahan celana dalam saja bisa menyebabkan aku merasa tidak enak bahkan kesakitan.

Tante Lia  telah masuk ke kamarnya serta aku baru menanggalkan baju jadi hanya tinggal singlet serta meloloskan celana blujins serta celana dalamku menggantinya dengan sarung ketika hujan disertai angin kencang terdengar di luar. 

Aku menggeletakkan diri di sofa serta menutupi diri dengan selimut wol tebal itu ketika suara angin serta hujan ditingkah gemuruh guntur serta petir sabung menyabung. Angin juga terus kencang serta hujan makin deras jadi rumah itu semacam bergoyang. Serta tiba-tiba listips mati jadi semua gelap gulita.

Kudengar suara Tante terbuktigil di pintu kamarnya.

“Ya, Tante?”

“Tolong kawani Tante mencari senter”.

“Dimana Tante?”, aku mendekat meraba-raba dalam gelap ke arah dia.

“Barangkali di laci di dapur. Tante mau ke sana.” Tante baru saja menghabiskan kalimatnya saat tanganku menyentuh tubuhnya yang empuk. Nyatanya persis dadanya. Cepat kutarik tanganku.

“Saya kira kami tidak memerlukan senter Tante. Bukankah kami telah mau tidur? Saya telah mengantuk sekali.”

“Tante takut tidur dalam gelap Dit”.

“Gimana kalau saya kawani Tante supaya tidak takut?”, aku sendiri terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutku, mungkin sebab telah mengantuk sangat. Tante Lia diam berbagai saat.

“Di kamar tidur Tante?”, tanyanya.

“Ya saya tidur di bawah”, kataku. “di karpet di lantai.” Seluruh lantai rumahnya terbukti ditutupi karpet tebal.

“Di tempat tidur Tante saja sekalian asal ….. “

Aku terkesiap. “A … asal apa Tante?”

“Asal kalian jangan bilang sama kawan-kawanmu, Tante bisa bisa malu besar. Serta juga jangan sekali-kali bilang sama ibumu”.

“Ah buat apa itu saya bilang-bilang? Tidak akan, Tante”. Dalam hati aku melonjak-lonjak kegirangan. Tidak kusangka aku bakalan bisa durian runtuh, berpeluang tidur di samping Tante Lia yang cantik banget. Siapa tahu aku kelak bisa nyenggol-nyenggol dirinya sedikit-sedikit.


Meraba-raba semacam orang buta menjaga jangan hingga terantuk ke dinding aku kembali ke sofa mengambil selimut serta bantal, lalu kembali meraba-raba ke arah Tante Lia  di pintu kamarnya. Cahaya kilat dari kisi-kisi di puncak jendela menolong aku menemukan keberadaannya serta dirinya mengajar aku masuk. 

Badan kami berantuk saat dirinya menuntun aku ke tempat tidurnya dalam gelap. Ingin sekali aku merangkul tubuh empuknya tetapi aku takut dirinya marah. Akhirnya kami berdua berbaring berjajar di tempat tidur. Selama proses itu kami sama menjaga supaya tidak terlalu tidak sedikit bersentuhan badan.

 Perasaanku tidak karuan. Baru hari inilah aku sempat tidur dengan perempuan bahkan dengan ibuku sendiripun tidak pernah. Perempuan cantik serta seksi lagi.
“Kamu itu kurus tapi badanmu kok keras Dit?” bisiknya di sampingku dalam gelap. Aku tidak menjawab.

“Seandainya kau tahu alangkah -ku lebih keras lagi kini ini,” kataku dalam hati. Aku berbaring miring membelakangi dia. Lama kami berdiam diri. Kukira dirinya telah tidur, yang jelas aku tidak bisa tidur. Bahkan mataku yang tadinya berat mengantuk, kini terbuka lebar.

“Dit,” kudengar dirinya memecah keheningan. “Kamu sempat bersetubuh?”

Nafasku sesak serta mereguk ludah.

“Belum Tante, bahkan menonton celana dalam perempuanpun baru sekali.” Wah berani sekali aku.
“Celana dalam Tante?”

“Hmmh”.

“Kamu mau nanggelin Dit?” dalam gelap kudengar dirinya menahan tawa.

Aku hampir-hampir tidak percaya dirinya berbicara itu.

“Nanggelin celana dalam Tante?”

“Iya. Tapi jangan dibilangin siapapun.”

Aku diam agak lama.

“Takutnya kelak bilah saya tidak mau kendor Tante”.

“Nanti Tante kendorin”.

“Sama apa?”

“Ya tanggelin dulu. Kelak bilahmu itu tahu sendiri.” Suaranya penuh tantangan.

Dan akupun berbalik, nafsuku menggelegak. Aku tahu inilah peluang emas untuk melampiaskan hasrat berahiku yang terpendam pada perempuan cantik-seksi selama bertahun-tahun usia remajaku.

Rasanya semacam aku bisa peluang emas di depan gawang lawan dalam satu pertandingan final kejuaraan besar melawan kesebebelasan super kuat, dimana pertandingan bersi kukuh 0-0 hingga menit ke-85. Umpan manis disodorkan penyerang tengah ke arah kiri. Bola menggelinding mendekati kotak penalti. Semua mengejar, kiper terjatuh serta aku tiba lebih dulu.

Dengan kekuatan penuh kulepaskan tembakan geledek. GOL! Begitulah rasanya ketika aku tergesa melepas sarungku serta menyerbu menanggalkan celana dalam Tante Lia. Lalu dalam gelap kuraih kaitan BH dipunggungnya, dirinya menolongku. 

Kukucup mulutnya. Kuremas buah dadanya serta tidak sabaran lagi kedua kakiku masuk ke lubang kedua pahanya. Kukuakkan paha itu, kuselipkan paha kiriku di bawah paha kanannya serta dengan satu tikaman kepala kontolku menerjang tepat seksama ke lubang labianya yang basah. Saya tancapkan terus. MASUK!


Aku menyetubuhi Tante Lia begitu tergesa-gesa. Sambil menusuk liang vaginanya kedua buah dadanya terus kuremas serta kuhisap serta bibirnya kupilin serta kulumat dengan mulutku. Mataku terbeliak saat penisku kumaju-mundurkan, kutarik hingga tinggal hanya kepala lalu kubenam lagi dalam mereguk nikmat sorgawi vaginanya. Kenikmatan yang baru pertama kalinya aku rasakan. Ohhhhh … Ohhhhh ….

Tetapi malangnya aku, siapa tahu baru delapan kali aku menggenjot, itupun batang kemaluanku baru masuk dua pertiga sewaktu dirinya muntah-muntah dengan hebat. Spermaku muncrat tumpah ruah dalam lobang kewanitaannya. Serta akupun kolaps.

 Badanku penuh keringat serta tenagaku rasanya terkuras saat kusadari bahwa aku telah knocked out. Aku sadar aku telah keburu habis sementara merasa Tante Lia tetap belum apa-apa, apalagi puas.
Dan tiba-tiba listips menyala. 

Tanpa kami sadari rupanya hujan badai telah reda. Dalam terang kulihat Tante Lia tersenyum disampingku. Aku malu. Rasanya semacam dirinya menertawakan aku. Laki-laki loyo. Main berbagai menit saja telah loyo.

“Lain kali jangan terlampau tergesa-gesa dong sayang”, katanya tetap tersenyum. Lalu dirinya turun dari ranjang. Hanya dengan kimono yang tadinya tidak sempat kulepas dirinya pergi ke kamar mandi, pastinya hendak cebok membersihkan spermaku yang berlepotan di lubang selangkangannya.

Keluar dari kamar mandi kulihat dirinya ke dapur serta akupun gantian masuk ke kamar mandi membersihkan penis serta pangkal penisku berserta rambutnya yang juga berlepotan sperma. Habis itu aku kembali ke ranjang. Apakah bakal ada babak berikutnya? Tanyaku dalam hati. Alias aku disuruh kembali ke sofa sebab lampu telah nyala?

Tante Lia masuk ke kamar membawa cangkir serta sendok teh yang diberbagi padaku.

”Apa ini Tante?”

“Telor mentah serta madu lebah pengganti yang telah kalian keluarkan tidak sedikit tadi”, katanya tersenyum nakal serta kembali ke dapur.

Akupun tersenyum gembira. Rupanya bakal ada babak berikutnya. Dua butir telur mentah itu beserta madu lebah campurannya kulahap serta lenyap kedalam perutku dalam waktu singkat. Serta sebentar kemudian Tante kembali membawa gelas berisi air putih.

Dan kami duduk bersisian di pinggir ranjang.

“Enak sekali Tante”, bisikku dekat telinganya.

“Telor mentah serta madu lebah?”, tanyanya.

“Bukan. Meqi Tante enak sekali.”

“Mau lagi?” tanyanya menggoda.

“Iya Tante, mau sekali”, kataku tidak sabar dengan melingkarkan tangan di bahunya.

“Tapi yang slow ya Dit? Jangan buru-buru semacam tadi.”

“Iya Tante, janji”.

Dan kamipun meperbuatnya lagi. Meski di kota kabupaten aku bukannya tidak sempat nonton filem bokep  tante. Ada kawanku yang punya kepingan VCD-nya. Serta aku tahu bagaimana foreplay diperbuat. Kini aku coba mempraktekkannya sendiri. 

Mula-mula  tante kucumbu dada Tante Lia, lalu lehernya. Lalu turun ke pusar lalu kucium serta kujilat ketiaknya, lalu kukulum serta kugigit-gigit pentilnya, lalu jilatanku turun kembali ke bawah seraya tanganku meremas-remas kedua payudaranya. Lalu kujilat belahan vaginanya. 

Hingga disini Tante Lia mulai merintih. Kumainkan itilnya dengan ujung lidahku. Tante Lia mengangkat-angkat panggulnya menahan nikmat. Serta akupun juga telah tidak tahan lagi. Penisku kembali tegang penuh serta keras seakan berteriak memaki aku dengan marah 

“Cepatlah *, jangan berleha-leha lagi”, teriaknya tidak sabar. Penis yang hanya memikirkan mau enaknya sendiri saja.

Aku merayap di atas tubuh Tante Lia. Tangannya menolong menempatkan bonggol kepala penisku tepat di mulut lobang kemaluannya. Serta tanpa menantikan lagi aku menusukkan penisku serta membenamkannya sampah dua pertiga. Lalu kupompa dengan ganas.77.104.158.154

“Diiiiiiiit”, rengeknya mereguk nikmat sambil merangkul leher serta punggungku dengan mesra.
Rangkulan Tante Lia membikin aku terus bersemangat serta terangsang. Pompaanku kini lebih kuat serta rengekan Tante Lia juga terus manja. 

Serta kupurukkan seluruh batangku hingga ujung terhadap penisku menyentuh sesuatu di dasar rahim Tante. Sentuhan ini menyebabkan Tante menggeliat-geliat memutar panggulnya dengan ganas, meremas serta menghisap kontolku. 

Reaksi Tante ini menyebabkan aku kehilangan kendali. Aku bobol lagi. Spermaku muncrat tanpa bisa ditahan-tahan lagi. Serta kudengar Tante Lia merintih sedih. Hari ini aku keburu knocked out selama dirinya hampir saja mencapai orgasme.

“Maafkan Tante”, bisikku di telinganya.

“Tak apa-apa Dit,” katanya mencoba menenangkan aku. Dihapusnya peluh yang meleleh di pelipisku.

“Dit, jangan bilang-bilang siapapun ya sayang? Tante takut sekali kalau ibumu tahu. Dirinya bakalan marah sekali anaknya Tante makan”, katanya tersenyum tetap tersengal-sengal menahan berahi yang belum tuntas penuh. 

Kontolku berdenyut lagi mendengar ucapan Tante itu, apa terbukti aku yang dirinya makan bukannya aku yang memakan dia? Serta aku teringat pada kekalahanku barusan. Ke-lelakian-ku tersinggung. Diam-diam aku bertekad untuk menaklukkannya pada peluang berikutnya jadi tahu rasa, bukan dirinya yang memakan aku tetapi akulah yang memakan dia.
Libidoku Yang Tetap Besar

Aku tersadar pada kokokan ayam pertama. Terbukti kebiasaanku bangun pagi-pagi sekali. Sebab aku butuh belajar. Otakku lebih terbuka mencerna rumus-rumus ilmu pasti serta fisika kalau pagi. Kupandang Tante Lia yang tergolek miring disampingku. Dirinya tetap tidak ber-celana dalam serta tidak ber-BH. 

Sebelah kakinya menjulur dari belahan kimono di selangkangannya membentuk segitiga jadi aku bisa menonton bagian dalam pahanya yang putih padat hingga ke pangkalnya. Ujung jembutnya juga kulihat mengintip dari pangkal pahanya itu serta aku juga bisa menonton sebelah buah dadanya yang tidak tertutup kimono. Aku telah hendak menerkam mau menikmatinya sekali lagi sewaktu aku merasa desakan mau buang air kecil. Sebab itu pelan-pelan aku turun dari ranjang terus ke kamar mandi.

Aku sedang membilas muka serta kumur-kumur sewaktu Tante Lia mengetok pintu kamar mandi. Agak sedih kubukakan pintu serta Tante Lia memberbagi handuk bersih. Dirinya sodorkan juga gundar gigi baru serta odol.

“Ini Dit, mandi saja disini,” katanya. Siapa tahu dirinya kira aku bakal pulang ke rumahku untuk mandi? Goblok bener.

Akupun cepat-cepat mandi. Keluar dari kamarmandi dengan sarung serta singlet serta handuk yang membalut tengkuk, kedua pundak serta lengan kulihat Tante Lia telah di dapur menyiapkan sarapan.

“Ayo sarapan Dit. Tante juga mau mandi dulu,” katanya meninggalkan aku.

Kulihat di meja makan terhidang roti mentega dengan botol madu lebah Australia disampingnya serta semangkok besar cairan kental berbusa. Aku tahu apa itu. Teh telor. Segera saja kuhirup serta rasanya sungguh enak sekali di pagi yang dingin. 

Saya yakin paling tidak lebih ada dua butir telor mentah yang dikocokkan Tante Lia dengan pengocok telur disana, lalu dibubuhi susu kental manis cap nona serta bubuk coklat. Lalu cairan teh pekat yang telah diseduh untuk kemudian dituang dengan air panas sembari terus dikacau dengan sendok. 

Lezat sekali. Serta dua roti mentega berlapis juga segera lenyap ke perutku. Kumakan habis selama berdiri. Madu lebahnya kusendok lebih tidak sedikit.

Tante tidak lama mandinya serta aku telah menantikan tidak sabar.

Dengan hanya berbalut handuk Tante keluar dari kamar mandi.

“Tante, ini teh telornya tetap ada”, kataku.

“Kok tidak kalian habiskan Dit?” tanyanya.

“Tante kan juga memerlukannya” , kataku tersenyum lebar. Dirinya menerima gelas besar itu sambil tersenyum mengerling lalu menghirupnya.

“Saya kan bisa lagi ya Tante”, tanyaku menggoda. Dirinya menghirup lagi dari gelas besar itu. “Tapi jangan buru-buru lagi ya?” katanya tersenyum dikulum. Dirinya menghirup lagi sebelum gelas besar itu dirinya kembalikan padaku. Serta aku mereguk sisanya hingga habis.

Penuh hasrat aku membawa serta memondong Tante Lia ke kamar tidur.

“Duh, kalian kuat sekali Dit”, pujinya melekapkan wajah di dadaku.

Kubaringkan dirinya di ranjang, handuk yang membalut tubuh telanjang-nya segera kulepas. Duhhh cantik sekali. Segalanya indah. Wajah, toket, perut, panggul, meqi, paha serta kakinya. Semuanya putih mulus mirip bintang film filem Korea.

Semula aku ragu bagaimana mengawalinya. Apa yang mesti kuserang dulu, sebab semuanya menggiurkan. Tapi dirinya mengambil inisiatif. Dilingkarkannya tangannya ke leherku serta dirinya dekatkan mulutnya ke mulutku, serta akupun melumat bibir seksinya itu.

 Dirinya julurkan lidahnya yang aku hisap-hisap serta perasan airludahnya yang lezat kureguk. Lalu kuciumi seluruh wajah serta lehernya. Lalu kuulangi lagi apa yang aku perbuat padanya tadi malam. Meremas-remas payu daranya, menciumi leher, belakang telinga serta ketiaknya, menghisap serta menggigit sayang pentil susunya. Sementara itu tangan Tante juga liar merangkul punggung, mengusap tengkuk, serta meremas-remas rambutku.

Lalu setelah puas menjilat buah dada serta mengulum pentilnya, ciumanku turun ke pusar serta terus ke bawah. Semacam kemarin aku kembali menciumi jembut di vaginanya yang tebal semacam martabak Bangka, menjilat klitoris, labia serta tidak lupa bagian dalam kedua pahanya yang putih. Lalu aku mengambil posisi semacam tadi malam untuk menungganginya.

Tante menyambut penisku di liang vaginanya dengan gairah. Sebab Tante Lia telah naik birahi penuh, setiap tusukan penisku menggesek dinding liangnya tidak hanya dinikmati olehku tetapi dinikmati penuh oleh dirinya juga.

Setiap kali sambil menahan nikmat dirinya berbisik di telingaku “Jangan buru-buru ya sayang, …….. jangan buru-buru ya sayang.”

 Serta aku terbukti berusaha mengendalikan diri menghemat tenaga. Kuingat kata-kata pelatih sepakbola-ku. Kalian itu main dua kali 45 menit, bukannya cuman setengah jam. Sebab itu butuh juga latihan lari marathon. 

Dari pengalaman tadi malam kujaga supaya penisku yang terbukti berkapasitas lebih panjang dari orang tidak sedikit itu jangan hingga terbenam seluruhnya sebab bakal memancing reaksi liar tidak terkendali dari Tante Lia . Aku bisa bobol lagi. Aku menjaga hanya masuk dua pertiga alias tiga perempat.

Dan kurasakan Tante Lia juga berusaha mengendalikan diri. Dirinya hanya menggerakkan panggulnya sekadarnya menyambut kocokan batangku. Kerjasama Tante menolong aku. Untuk lima menit pertama aku menguasai bola serta lapangan sepenuhnya.

Kujelajahi hingga dua pertiga lapangan sambil mengarak serta mendrible bola, sementara Tante merapatkan pertahanan menantikan serangan sembari melayani serta menghalau tusukan-tusukanku yang mengarah ke jaring gawangnya.

Selama lima menit berikutnya aku terus menambah tekanan. Terkadang bola kubuang ke belakang , lalu kugiring dengan mengilik ke kiri serta ke kanan, terkadang dengan gerakan berputar. Kulihat Tante mulai kewalahan dengan taktik-ku. 

Lima menit berikutnya Tante mulai melancarkan serangan balasan. Dirinya tidak lagi hanya bersi kukuh. Back kiri serta bek kanan bekerjasama dengan gelandang kiri serta gelandang kanan, begitupun kiri luar serta kanan luar bekerjasama membikin gerakan menjepit barisan penyerangku yang membikin mereka kewalahan. 

Sementara merangkul serta menjepitkan paha serta kakinya ke pinggulku Tante Lia berbisik mesra “jangan buru-buru ya sayang …. jangan tergesa-gesa ya Dit?”. 

Akupun segera mengendorkan serangan, menahan diri. Serta lima menit lagi berlalu. Lalu aku kembali mengambil inisiatif menjajaki mencari titik lemah pertahanan Tante Lia. Aku gembira sebab aku menguasai permainan serta lima menit lagi berlalu.

Tante Lia terus tersengal-sengal, rangkulannya di punggung serta kepalaku terus erat. Serta aku tidak lagi meperbuat penjajakan. Aku telah tahu titik kelemahan pertahanannya. Sebab itu aku masuk ke bagian serangan yang lebih hebat.

Penggerebekan di depan gawang. Penisku telah lebih tidak jarang masuk tiga perempat menyentuh dasar liang kenikmatan Tante Lia . Setiap tersentuh Tante Lia menggelinjang. Dirinya pererat rangkulannya serta dengan nafas tersengal dirinya kejar mulutku dengan mulutnya serta mulut serta lidah kamipun kembali berlumatan serta kerkucupan.

“Dit”, bisiknya. “Punyamu panjang sekali.”

“Memek Tante tebal serta enak sekali”, kataku balas memuji dia. Serta pertempuran sengit serta panas itu berlanjut lima lalu sepuluh menit lagi. Lalu geliat Tante Lia terus menggila serta ini menyebabkan aku terus gila pula memompa. 

Aku tidak lagi menahan diri. Aku melepaskan kendali syahwat berahiku selepas-lepasnya. Kutusuk serta kuhunjamkan kepala -ku hingga ke pangkalnya berkali-kali serta berulang-ulang ke dasar rahimnya hingga akhirnya Tante Lia tidak sadar menjerit “oooooohhhhhh…” 

.Aku terkejut, cepat kututup mulutnya dengan tanganku, takut kedengaran orang, apalagi kalau kedengaran oleh ibuku di sebelah. Sekalipun demikian pompaanku yang dahsyat tidak berhenti. Serta saat itulah kurasakan tubuh Tante Lia berkelojotan sementara mulutnya mengeluarkan suara lolongan yang tertahan oleh tanganku. Dirinya orgasme luar biasa sekali.

“Telah Dit, Tante telah tidak kuat lagi”, katanya dengan nafas panjang-singkatan seusai mulutnya kulepas dari bekapanku. Kulihat ada keringat di hidung, di kening serta pelipisnya. Wajah itu juga kelihatan letih sekali. Aku memperlambat lalu menghentikan kocokanku. Tapi senjataku tetap tertanam mantap di memek tebalnya.

“Enak Tante?”, bisikku.

“Iya enak sekali Dit. Kalian jantan. Telah ya? Tante capek sekali”, katanya membujuk supaya aku melepaskannya. Tapi mana aku mau? Aku belum keluar, sementara batang kelelakianku yang tetap keras perkasa yang tetap tertancap dalam di liang kenikmatannya telah tidak sabaran hendak melanjutkan pertempuran.

“Sebentar lagi ya Tante,” kataku meminta , serta dirinya mengangguk mengerti. Lalu aku melanjutkan melampiaskan kocokanku yang tadi tertunda. Kusenggamai dirinya lagi sejadi-jadinya serta berahinya naik kembali, kedua tangannya kembali merangkul serta memiting aku, mulutnya kembali menerkam mulutku. 77.104.158.154

Lalu sepuluh menit kemudian aku tidak bisa lagi mencegah air mani-ku menyemprot berkali-kali dengan hebatnya, sementara dirinya kembali berteriak tertahan dalam lumatan mulut serta lidahku. Liang vaginanya berdenyut-denyut menghisap serta memerah sperma-ku dengan hebatnya semacam tadi. Kakinya melingkar memiting panggul serta pahaku.

Persetubuhan nikmat diantara kami nyatanya berulang serta berulang serta berulang serta berulang lagi saban ada peluang alias tepatnya peluang yang dikegunaaankan. tante.

Suami Tante Lia Om Hendra punya hobbi main catur dengan Bapakku. Kalau telah main catur bisa berjam-jam. Peluang itulah yang kami gunakan. Paling mudah kalau mereka main catur di rumahku. Aku datangi terus Tante Lia yang biasanya berhelah menolak tapi akhirnya mau juga. 

Aku juga nekad mencoba kalau mereka main catur di rumah Tante Lia . Serta biasanya bisa juga meski Tante Lia lebih keras menolaknya mula-mula. Hehe kalau aku tidak yakin bakalan bisa juga akhirnya manalah aku bakal begitu degil mendesak serta membujuk terus.

Tiga bulan kemudian setelah momen tante di kala hujan serta badai itu aku ketakutan sendiri. Tante Lia yang lama tidak kunjung hamil, nyatanya hamil. Aku khawatir kalau-kalau bayinya kelak hitam. Kalau hitam pasti bisa gempar. Sebab Tante Lia itu putih. Om Hendra kuning. Lalu kok bayi mereka bisa hitam? Yang hitam itu kan si Didit. Hehehehe … tapi itu tante yang lain lagilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.